Foto ilustrasi
PALOPO-Dibalik kilau lampu kota dan aroma harum dari salon-salon berlabel “rumah kecantikan”, terselubung praktik hitam yang telah lama merajalela di Kota Palopo: prostitusi terselubung. Praktik ini berjalan seolah tanpa hambatan. Tak pernah tersentuh aparat. Tak pernah digrebek. Tak pernah diganggu.
Jumat, 11 Juli 2025, tim investigasi media bersama relawan LSM turun ke lapangan menelusuri informasi warga. Dugaan awal terbukti. Di balik tirai-tirai salon, terdapat transaksi syahwat yang terang-terangan dipajang tarifnya. Pelayanan plus-plus ditawarkan tanpa malu. Semua tampak legal. Padahal jelas-jelas menabrak Perda, norma agama, dan nilai-nilai kesusilaan.
Salah satu pemilik salon, sebut saja Ana (nama samaran), buka suara saat dikonfirmasi. Pernyataan sinisnya justru menegaskan dugaan keterlibatan oknum aparat.
“Kalau ada yang digrebek, itu berarti tidak setor,” katanya sambil tertawa kecil, menunjuk tarif layanan di dinding.
“Bacaki saja di situ, kalau mau ki lanjut, tinggal bicara sama anak-anak.”
Pengakuan itu menohok. Ada dugaan kuat praktik “upeti” alias setoran rutin ke oknum agar bisnis prostitusi tetap jalan. Di banyak titik, tim menemukan salon-salon yang mempekerjakan 4 hingga 8 wanita penghibur. Mirisnya, beberapa di antaranya diduga masih di bawah umur.
Lebih ironis lagi, praktik ini dilakukan secara terang-terangan: dari layanan pijat di kos-kosan, spa berkedok kecantikan, hingga kencan terselubung di hotel-hotel. Kota yang seharusnya bersih dari prostitusi, malah menjadi lahan subur bisnis syahwat.
Menanggapi maraknya praktik ini, Wakil Ketua Dewan Penasehat LSM LP-KPK, Andi Baso Tenriliwong, angkat bicara.
“Ini sudah lama berlangsung. Sudah sistematis. Ada indikasi kuat bekingan oknum. Pemkot Palopo harus ambil langkah tegas,” serunya.
Ia mendesak Pemkot dan Kepolisian tidak tinggal diam. Jika dibiarkan, katanya, praktik ini akan terus merusak masa depan generasi muda. Terlebih, belakangan ini kasus asusila terus mencuat di Palopo.
Ia mengusulkan pendekatan kemanusiaan dan hukum:
“PSK yang tertangkap harus diberikan pelatihan di BLK dan modal usaha. Tapi untuk mucikari dan pelanggannya, terapkan UU TPPO. Hukuman pidana minimal 3 tahun, maksimal 15 tahun! Denda minimal Rp120 juta,” tegasnya.
Andi Baso menegaskan, jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) benar-benar diterapkan, maka mucikari dan pelaku akan jera.
“Sudah saatnya Palopo bersih dari prostitusi berkedok salon. Jangan sampai kota ini menjadi ladang rusaknya moral bangsa hanya karena pembiaran yang disengaja!” (**)